Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

TERSESAT DI DESA ADAT SADE

 

TERSESAT DI DESA ADAT SADE

Wire baru saja tiba di Desa Sade, bersama Sentane dan Sarwan ia memasuki gerbang dengan senangnya. Gerbang desa dengan bentuk lumbung, khas rumah adat Pulau Lombok. Ini adalah kali pertama mereka mendatangi Desa Sade, sebuah desa adat yang berada di daerah selatan Lombok Tengah.

Mereka disambut dengan suara musik tradisional Gendang Beleq yang dimainkan oleh para sekehe di desa tersebut.

“Wire, lihat! Betapa serasinya gerakan para sekehe,” kata Sarwan.

“Wah mereka menari sambil menabuh gendangnya.” Sentane menimpali.

Mereka senang menyaksikan pertunjukan Gendang Beleq di pelataran halaman balai desa.

Di sekeliling, mereka juga melihat orang-orang yang semakin ramai berdatangan. Mereka turun dari bis-bis. Tampak bersama mereka seorang pemandu wisata yang dengan cekatan menjelaskan tentang adat istiadat di Desa Sade. Kemungkinan besar mereka berasal dari luar daerah.

Gerakan pemain Gendang Beleq semakin menarik perhatian pengunjung.

Di tengah pertunjukan tersebut, Wire memberitahu Sentane dan Sarwan agar menunggunya di tempat itu. Ia akan ke kamar kecil untuk buang hajat.

Beberapa lama kemudian, Wire keluar dari kamar kecil. Pertunjukan Gendang Beleq telah selesai. Para pengunjung telah membubarkan diri dan berpencar di sekitar kawasan desa. Ia lalu mencari Sentane dan Sarwan, namun mereka berdua tidak ditemukannya. Wire kebingungan, tampak raut gelisah di wajahnya.

Ia mencari kedua temannya di antara para pengunjung yang sedang melihat kerajinan kain sesek. Di tengah-tengah mereka seorang gadis desa tengah memintal benang. Seorang lagi tengah mewarnai kain dengan warna alami, dan yang lainnya sedang menenun kain.

Melihat penenun tersebut, Wire lupa jika ia telah kehilangan teman-temannya. Ia memperhatikan bagaimana benang-benang itu dijalin dengan sangat teliti. Dengan menggunakan alat tenun yang terbuat dari kayu, gadis desa itu membentuk motif yang indah.

“Rasanya aku ingin mencoba membuat kain sesek itu,” batin Wire.

“Apakah aku boleh mencoba membuatnya?” pinta Wire kepada gadis penenun.

“Ayo, duduk di sini! Aku akan memandumu.” Gadis penenun berdiri di samping alat tenun.

Wire duduk, dibantu sang penenun memasukkan benang dan membuat pola.

“Aduh, ternyata membuat kain sesek sangat susah, Kak,” kata Wire.

“Ya, beginilah cara membuatnya. Selain susah juga membutuhkan waktu yang lama.”

“Berapa lama kain sesek ini bisa jadi sempurna?” tanya Wire.

“Kain sesek bisa selesai dibuat sekitar dua minggu hingga satu bulan lamanya bahkan bisa sampai dua bulan,” jawab penenun.

“Ternyata cukup lama.” Wire menggelengkan kepalanya. Ia kagum dengan kesabaran dan keterampilan para penenun ini.

Wire beranjak dari tempat itu. Ia berusaha kembali mencari kedua temannya. Tanpa disadari, ia kini berada di sebuah rumah yang sangat unik.

Rumah dengan dinding anyaman bambu dengan tiang-tiang tua yang tampak kokoh. Lantai rumah terbut dari tanah liat dan atapnya dari ilalang. Rumah tradisional itu terlihat agak tinggi sehingga memasukinya harus melalui tangga tanah dan pintu kecil.

Wire memandang seisi rumah dari pintu yang terbuka.

Sang pemilik rumah mempersilakannya untuk masuk.

Wire melihat pemilik rumah sedang mengepel lantai tanah rumahnya. Wire kaget. Ia melihat lantai itu dipel dengan kotoran sapi.

“Apakah bapak mengepel lantai ini dengan kotoran sapi?” tanya Wire.

“Betul,” jawab pemilik rumah.

“Mengapa Bapak menggunakan kotoran sapi?”

“Kotoran sapi akan membuat lantai akan terlihat mengkilat dan menjauhkan rumah dari banyaknya nyamuk.” Pemilik rumah menjelaskan.

“Ini sangat unik,” gumamnya.

Wire melihat sekeliling dalam rumah. Di dalam rumah terdiri dari tiga ruangan. Satu kamar kamar tidur, ruang tamu tempat ia berada dan dapur kecil yang berisi tungku api dan peralatan masak yang masih sangat sederhana.

Wire lalu melanjutkan menemui Sentane dan Sarwan. Melewati rumah-rumah yang berdempetan. Di depan setiap rumah diletakkan sebuah kendi berisi air untuk membersihkan kaki ketika memasuki rumah. Ada juga lampu tradisional yang terbuat dari kerang sebagai wadah menyalakan api untuk penerang.

Di sela-sela rumah, Wire melihat para pengunjung sedang berbicara dengan penduduk desa, sambil menawar berbagai oleh-oleh khas yang dijajakan. Wire memperhatikan mereka, mungkin saja ia bisa menemukan kedua temannya.

Sayang, ia tidak menemukannya juga.

Dari jauh ia melihat sebuah bangunan yang cukup besar. Dindingnya dari anyaman bambu dan tiang-tiang kayu besar sebagai penyangga. Berbagai ukiran khas Pulau Lombok menghiasi pintu dan jendela. Di depannya papan kecil bertuliskan “Masjid Syahadah”.

Dua sosok temannya sedang duduk di antara tiang-tiang masjid itu.

Wire segera mendekati mereka.

Betapa senangnya Sentane dan Sarwan dengan kedatangan Wire.

“Ke mana saja kamu, Wir? Kami sudah mencarimu ke mana-mana.” Sentane menyambut Wire.

“Aku juga mencari kalian,” jelas Wire.

Wire menceritakan pengalamannya kepada kedua temannya. Setelah itu, mereka pun melanjutkan wisata mereka menyusuri keindahan Desa Sade di antara penduduknya yang ramah.


Muhamad Irham, S.Pd.I. Lahir di Praya, 7 Oktober 1981. Menyelesaikan pendidikan formal di IAIN Mataram (2005) pada Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Bahasa Arab.  Sehari-hari beraktifitas menjadi pengajar di Pondok Pesantren Sa’adatuddarain Praya Lombok Tengah NTB. Ia aktif menulis puisi, cerpen dan novel. Telah menerbitkan beberapa buku, di antaranya Mutiara-Mutiara Hikmah (Basmallah Publisher, 2018), Senja di Rinjani (Guepedia, 2019), Kumpulan Cerpen Lukisan di Dinding Langit (Guepedia, 2019), Kumpulan Puisi Mantra-mantra dari Pulau (Kekata, 2018). Email : mamanempun18@gmail.com WA: 081907889145.

 

 

 

Posting Komentar untuk "TERSESAT DI DESA ADAT SADE"