Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jejak Kolonial di Sekolah Rakyat: Mengapa Kini Diaktifkan Kembali?

Pendidikan merupakan hak setiap anak, tetapi apa yang terjadi bila pendidikan formal malah dapat memunculkan diskriminasi sesuai dengan tingkat ekonomi siswa? Usul Pemerintah tentang Sekolah Rakyat membawa ingatan kembali kepada kebijakan perpisahan masa kolonial.

Konsep Sekolah Rakyat muncul, mengingatkan kita akan era kolonialisasi di Indonesia. Seperti yang disebut oleh Wasistohadi dan Theresia Sri Rahayu dalam bukunya yang berjudul Dinamika Sistem Pendidikan Indonesia (2023), selama jaman penjajahan Belanda, struktur pendidikan dibagi menurut lapisan sosial dari siswanya.

Satu contoh dari hal tersebut adalah adanya perbedaan seperti ini. Volksschool, Atau yang artinya literally Sekolah Rakyat. Ini merupakan sekolah dasar terutama untuk penduduk asli dengan kesempatan akses lebih sedikit daripada sekolah-sekolah elit kolonial.

Perubahan muncul selama masa penjajahan Jepang. Sekolah Rakyat (صندVMLINUX Kokumin Gakko ) diperluas dengan menghapus sekat-sekat sosial ekonomi, tapi institusi ini lebih banyak jadi alat propaganda. Setelah Indonesia merdeka, pada 1946 Sekolah Rakyat resmi berubah menjadi Sekolah Dasar (SD) sebagai bagian dari standarisasi sistem pendidikan nasional.

Namun, hampir 79 tahun setelahnya, pemerintah tampaknya semangat sekali untuk kembali memakai nama Sekolah Rakyat. Sekolah ini khusus bagi siswa dari golongan keluarga miskin dan miskin ekstrem. Katanya, ini adalah bentuk negara memuliakan masyarakat miskin.

Mengapa ide tentang sekolah yang memisahkan lapisan sosial, sebuah konsep dari era kolonial, kembali diperkenalkan saat ini?

'Sekolah khusus' untuk orang kurang beruntung dan sangat membutuhkan bantuan

Sentra Terpadu Pangudi Luhur (STPL) di Bekasi, Jawa Barat, akan dipilih sebagai contoh bagi Sekolah Rakyat. Sebagian area sebesar 16 hektarnya akan disiapkan khusus untuk proyek perbaikan tersebut.

Ketika tim DW Indonesia mengunjungi situs tersebut di akhir Maret, beberapa kamar telah ditata sebagai prototipe awal, walaupun masih banyak yang belum terisi. Struktur bangunan itu sendiri mirip dengan sekolah-sekolah di Indonesia secara umum.

Saat ini, STPL masih berfungsi sebagai pusat rehabilitasi dan pelatihan bagi penyandang disabilitas. Kepala STPL Wahyu Dewanto menjelaskan bahwa jika Sekolah Rakyat mulai beroperasi, layanan tersebut akan dipindahkan ke bagian lain dalam kompleks yang sama.

Berdasarkan fasilitas yang tersedia, STPL Bekasi diprediksi bisa mengakomodir sekitar 26 kelas dengan jumlah murid antara 20 hingga 25 orang per kelas dan juga memiliki 47 bilik penginapan, di mana setiap bilik dirancang untuk memuat empat tempat tidur.

Pada pernyataan Menteri Sosial Republik Indonesia Saifullah Yusuf di Istana Presiden Jakarta (10/03), disebutkan bahwa sekolah asramah ini ditujukan untuk anak-anak dari latar belakang kurang mampu, terlebih lagi bagi mereka yang termasuk dalam golongan sangat miskin. Ia mengungkapkan bahwa tujuan utamanya adalah untuk memberikan kesempatan mendapatkan pendidikan berkualitas secara cuma-cuma serta membantu mengakhiri rantai kemiskinan.

Pendaftaran murid di Sekolah Rakyat akan ditentukan berdasarkan Data Tunggal Sosioekonomi Nasional (DTSEN). Prioritas diberikan kepada anak-anak dari keluarga yang termasuk dalam golongan ekonomi terendah atau kategori desil 1 dan 2.

Sekolah Rakyat dirancang untuk dimulai operasionalnya pada Juli 2025 dengan tujuan mencapai 100 sekolah dalam setahun tersebut. Walaupun beberapa struktur akan menggunakan infrastruktur yang telah tersedia, pihak pemerintahan pun mengizinkan pembangunan gedung sekolah baru di lokasi-lokasi tertentu.

Sekolah Rakyat ini akan dikelola oleh Kementerian Sosial, walaupun diketahui menerima dukungan dari Kemendikdasmen dalam hal pelaksanaan pembelajaran.

Anak-anak dari kelompok yang marginal semakin berisiko ditinggalkan.

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengatakan bahwa kebijakan tersebut memiliki potensi untuk membuat Indonesia kembali ke masa lalu kolonis. Ini terjadi karena ideologi Sekolah Rakyat mendayagunakan perbedaan status sosial dan ekonomi dalam menentukan nasib para pelajar. Dampaknya dapat melahirkan garis pembatas yang jelas di antara putera-puteri dari kalangan tidak mampu dan mereka yang berasal dari keluarga mapan.

Menurut pendapat Ubaid, adanya Sekolah Rakyat dapat menciptakan cap negatif pada anak-anak dari latar belakang kurang mampu. Menurutnya lagi, mereka bisa merasa diasingkan dan dianggap sebagai golongan ketiga oleh teman-temannya. Ucapan ini disampaikannya saat membahas dampak sosial potensial tersebut.

Buruan daftar untuk mendapatkan newsletter mingguan Wednesday Bite secara cuma-cuma. Isi ulang ilmunya saat hari Rabu agar percakapan semakin menarik!

Kehadiran Sekolah Rakyat yang memisahkan anak-anak dari kalangan kurang mampu dapat semakin melebarkan perbedaan dalam hal mutu pendidikan. Menurut Ubaid, siswa yang belajar di sekolah tersebut cenderung mendapatkan pendidikan dengan sarana dan prasarana yang sangat rendah dibandingstandar pendidikan berkualitas, akhirnya ini akan mengurangi kesempatan mereka bersaing. Hal itu pada gilirannya bakal bertolak belakang dengan upaya untuk melawan kemiskinan melalui sistem edukasi.

Selain itu, salah satu ancaman utama yang harus diperhatikan adalah ketidakstabilan ekonomi serta kemungkinan adanya paksaan terhadap anak-anak. Seperti dikatakan oleh Ubaid, "Anak-anak banyak berasal dari keluarga kurang mampu; selain belajar, mereka juga dituntut untuk mendukung orang tuanya di ladang atau kebun. Jika dipaksakan menempati asrama, hal ini dapat menciptakan persoalan tambahan."

Selanjutnya, banyak keluarga kurang mampu cenderung mengirimkan putra-putri mereka ke pesantren atau institusi pendidikan berasaskan keagamaan. Dia menambahkan, "Pihak pemerintahan perlu bertindak guna mempertegas bahwa tak terdapat paksaan apapun dan sekaligus mendukung siswa dalam menjalankan hak mereka untuk memilih tempat belajar sesuai dengan kemauan."

Ukuran dana yang dialokasikan untuk Sekolah Rakyat

Sebelumnya, pemerintah sudah meluncurkan progam mahal bernama Makanan Bernutrisi Gratis Mendirikan sebuah sekolah baru pun memerlukan dana yang cukup besar.

Mentri Koordinator untuk Pemberdayaan Masyarakat, Muhaimin Iskandar, mengestimasikan bahwa biaya konstruksi dan pengoperasian dari setiap Sekolah Rakyat dapat mencapai sekitar Rp100 miliar secara rata-rata.

Sebenarnya, berdasarkan pendapat Ubaid Matraji dari JPPI, jumlah sekolah di Indonesia telah cukup besar. "Sudah tersedia banyak sekolah yang dapat kita manfaatkan. Sebaiknya anggaran pemerintah dipakai untuk meningkatkan mutu sekolah-sekolah tersebut daripada mendirikan bangunan baru yang justru bakal menghasilkan segregasi," ungkap Ubaid.

Cecep Darmawan, seorang pakar kebijakan pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), menyampaikan bahwa mendirikan sebuah sekolah merupakan suatu tantangan besar. Selain itu, dia juga menunjukkan adanya kemungkinan overlap dalam sistem pendidikan akibat hadirnya ide tentang Sekolah Rakyat yang independen dari sekolah-sekolah dasar biasa.

"Sesungguhnya, kita tidak harus membangun fisikal sekolah rakyat baru. Kita bisa menjadikan bentuk-bentuk sekolah yang telah ada seperti sekolah rakyat. Proses ini tentunya bersifat bertahap dengan memberikan jalur spesifik bagi anak-anak dari kelompok terpinggirkan; biaya pendidikan untuk mereka pun akan dipastikan," ungkap Guru Besar UPI tersebut.

Menurut dia, metode ini bakal lebih efisien serta mencakup semua pihak, tidak menambah bebannya pengeluaran negara atau mengganasakan ketidakseimbangan yang ada.

Cecep Darmawan mengatakan bahwa metode ini dapat meningkatkan kualitas serta menyamakan standar di sejumlah sekolah yang telah ada tanpa perlu memisahkan murid-murid dengan latar belakang keluarga tidak mampu. Ini pada gilirannya membuat seluruh pelajar dari beragam kondisi finansial bisa mendapatkan pendidikan secara bersama-sama, sehingga menciptakan kesempatan untuk bertukar pikiran antara sesama siswa.

Impian tentang pendidikan yang merangkul semua kalangan serta adil

Ide terpisah ini juga bisa bertentangan dengan maksud pendidikan nasional. Ubaid mengingatkan tentang janji dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa semua warga negara memiliki hak atas pendidikan yang sama rata.

" Ini tentu saja bertentangan dengan Pasal 31 UUD 1945, di mana seluruh warganegara Indonesia, termasuk anak-anak, memiliki hak yang sama untuk menerima pendidikan berkualitas, adil, sejajar, dan inklusif bagi semua orang." Tuturnya tegas.

Dia juga mengkritik bahwa gagasan tersebut muncul ketika pendidikan inklusif telah menjadi standar baru di banyak negeri. Dia menjelaskan, "Saat ini, sekolah merupakan tempat pembelajaran bagi anak-anak dengan beragam latar belakang sosial dan ekonomi yang dapat menuntut ilmu di satu institusi pendidikan yang sama."

Sejalan dengan itu, Cecep Darmawan menyatakan betapa krusialnya pendidikan yang melibatkan seluruh segmen masyarakat. Dia menjelaskan bahwa "sekolah yang mempertemukan pelajar dari beragam tingkat penghasilan bisa membentuk iklim pembelajaran yang lebih adil." Demikian katanya.

Dengan menggunakan model tersebut, pembelajaran akan menjadi lebih inklusif dan tak terbatas oleh latar belakang ekonomi-sosial. Metode ini bukan saja mengenraskan pengalaman belajar, melainkan juga mendorong keseimbangan dalam bidang pendidikan.

Posting Komentar untuk "Jejak Kolonial di Sekolah Rakyat: Mengapa Kini Diaktifkan Kembali?"