Menyentuh Inti Kemarahan: Mengeksplor Asal-usul Penyebab Permasalahan
Emosi amarah sering kali memiliki reputasi tidak baik, dianggap sebagai hal yang merugikan, dan sebisa mungkin dicegah.
Sebaliknya, amarah pada dasarnya merupakan emosi yang normal, sah, dan signifikan. Hal ini dijelaskan oleh Erin S. Bullet, PhD, yaitu Direktur dari Psychological Services Clinic Universitas Missouri, AS, sesuai dengan kutipan tersebut. WebMD .
Hingga saat ini, kita diizinkan untuk menyuarakan beragam perasaan, kecuali kemarahan.
Maka jika demikian kenyataannya, kita tak akan pernah bisa mempelajari cara menghadapi amarah dengan efektif atau menyalurkannya dengan sehat, benarkah?
Maka, bagaimana cara terbaik untuk menangani kemarahan yang kita rasakan?
Dalam tulisannya di Psyche , Ryan Martin, PhD, seorang psikolog dan dosen, menyatakan bahwa kemarahan dapat menjadi sumber energi untuk menemukan dan menyelesaikan masalah — asalkan dipakai dengan cara yang benar.
Jika kita kerap menggerutu akibat selalu melupakan letak kacamata atau telepon genggam, maka waktunya untuk menyusun suatu sistem pengorganisasian peralatan yang lebih efisien.
Atau, sebagai contoh lain dari permasalahan yang lebih besar: apabila kita diserang dengan fitnAN dan perlakuan tidak adil di tempat kerja, amarah dapat memperkuat kami dalam upaya pembelaan diri.
Kita harus mengenali emosi marah kita supaya bisa mengekspresikannya secara lebih sehat. Berkenaan dengannya, Martin merekomendasikan kita merespons ketiga pertanyaan di bawah ini.
Sekali coba tinjau situasinya. Adakah bukti bahwa kita telah ditindaklanji dengan tidak adil? Apakah sebenarnya ada halangan yang menghambat pencapaian tujuan kami? Dan jika memang demikian, sampai seberapa parah dampaknya?
Setelah mengevaluasi, terkadang kita sadar bahwa masalahnya tidak besar, tetapi sekadar kesalahan yang tidak disengaja atau konsekuensinya ternyata tidak signifikan.
Sekarang, bila kemarahan kita bisa dimaklumkan, cobalah ajukan pertanyaan kedua: Apa sebenarnya pesannya dalam keadaan marah ini terkait dengan situasi kita saat ini?
Sebenarnya apa yang kitaingini? Sebagai contoh, kita merasakan amarah ketika tersandung dalam kemacetan lalu lintas. Tetapi pada kenyataannya, itu hanyalah setengah dari alasannya.
Di belakangnya, kami khawatir tentang ujian sertifikasi yang akan datang di kantor pada hari tersebut. Karena marah tidak dapat menyelesaikan kemacetan, sebaiknya alihkan tenaga dan pikiran ke persiapan ujian saja.
Pertanyaan akhirnya adalah: Apa yang bisa mengungkapkan emosi marah ini mengenai aspek diri kita?
Sebagai contoh, kita merasa kesal ketika pekerjaan kita selalu dievaluasi oleh teman satu tim. Mari pertimbangkan sekali lagi, apa tepatnya yang menyebabkan kemarahan ini? Apakah ada suatu prinsip atau keperluan pribadi yang belum dipenuhi dalam hal ini?
Jika kita terganggu akibat perasaan tidak dihormati atau dipandang sebelah mata oleh kolega, hal itu menunjukkan adanya kebutuhan atas penghargaan dan peningkatan tingkat keyakinan diri.
Akan tetapi, jika sesungguhnya kita merasa stres lantaran memikirkan capaian KPI serta potensi tidak mendapat promosi, hal itu menunjukkan adanya masalah tambahan.
Alasan yang tidak sama memerlukan penyelesaian yang tak serupa juga. Mengidentifikasi asal-usul kekesalan yang sesungguhnya membantu kita untuk melangkah lebih jauh dengan benar.
Ingat juga bahwa kemarahan seringkali hanyalah emosi kedua.
Jika kita menganalisis lebih jauh, seringkali ditemukan bahwa emosi dasar seperti perasaan iri hati atau ketakutan berada di baliknya.
Nah, kita perlu menemukan emosi primer ini supaya dapat mengatasi persoalan yang sebenarnya.
Yang terpenting, sebelum memutuskan untuk mengelola amarah, emosi yang berkobar-kobar di dalam dada sebaiknya diredakan dulu.
Pada zaman dahulu, kita kerap kali mengetahui adanya pandangan yang menyatakan bahwa emosi kemarahan akan lebih baik jika dilepaskan dibanding ditimbun-timbun dalam diri. Bukan dengan cara membabi-buta saja, tetapi ketika merasakan amarah, orang biasanya diusulkan untuk melakukan aktivitas olahraga, memukuli bantal atau punch bag demi proses pembersihan mental tersebut.
Meskipun demikian, studi menyimpulkan bahwa katarsis justru tidak hanya gagal dalam meredam tingkat kemarahan, melainkan juga membuat emosi tersebut bertahan lebih lama serta mendorong perilaku agresif.
Sebagai gantinya dari olahraga berintensitas tinggi, dianjurkan untuk melakukan aktivitas fisik yang lebih ringan guna membantu mengatur emosi kemarahan.
Dilasir dari artikel SELF , Akua K. Boateng, PhD, seorang psikoterapis dan founder dari Boateng Consulting yang berbasis di AS, menyarankan untuk melakukan peregangan, foam rolling , dan dipijat untuk merilekskan otot-otot yang kaku akibat kemarahan.
Menurut dia, tubuh harus diistirahatkan dan respon stres dikendalikan supaya kita bisa melaksanakan berbagai kegiatan yang bermanfaat.
Saran lain untuk menenangkan diri adalah jalan kaki di alam, yoga, serta aktivitas relaksasi seperti meditasi dan pernapasan diafragma.
Apakah katarsis tertulis atau melalui bicara, seperti mengeluh, bermanfaat untuk menenangkan kemarahan?
Suatu penelitian yang diterbitkan di Jurnal Eropa tentang Psikologi Kerja dan Organisasi (2016) menggabungkan partisipasi dari 112 ahli yang menulis makalah berdasarkan pengalaman mereka di lingkungan pekerjaan.
Akhirnya ditemukan kesimpulan bahwa makin sering orang mengeluh, jiwanya malah menjadi lebih hancur.
Hal itu tidak bermakna kita dihentikan untuk melampiaskan perasaan, mengekspresikan keluhan, atau venting .
Masih mengutip SELF, Cherise Stewart, seorang terapis pernikahan dan keluarga dengan gelar LMFT, merekomendasikan penggunaan pertanyaan pemantik ketika kita berencana menulis jurnal.
Sebagai contoh, pertanyaan-pertanyaan semacam itu bisa berupa: Mengapa saya merasa jengkel? Apa sesungguhnya yang membuatku cemas saat ini? Dibalik kemarahan ini, mungkin ada keperluan tertentu yang belum dipenuhi? Lalu, apa tindakan selanjutnya yang harus saya ambil?
Jika muncul pemikiran negatif yang mengatakan semua telah rusak, cobalah bertanya kembali kepada diri Anda sendiri, "Adakah kebenaran dari pikiran ini? Ada bukti apa?"
Demikian juga ketika kita berniat menceritakan masalah kepada seorang teman. Pertimbangkan dahulu, apakah tujuannya adalah mencari solusi atau hanya ingin mengeluarkan kekesaran?
Benar sekali, kemarahan dapat memungkinkan kita untuk menyadari serta mengatasi tantangan. Akan tetapi, beberapa individu justru mengalami marah berkepanjangan yang membuat mereka lebih cenderung bertengkar, merusak properti, atau berkendara dengan sembrono.
Jika Anda menghadapi dampak buruk yang signifikan karena kemarahan, segera carilah pertolongan dari ahli profesional.
Emosi merupakan sumber tenaga yang berharga. Tetapi apabila tak terkendali, emosi tersebut mampu meletus dengan tiba-tiba dan mengancam keselamatanmu serta mereka yang ada di lingkungan sekitarmu.
Maka itu, mari kita mulai dengan mengendalikan emosi marah sebelum keadaan merugikan kita karena hal tersebut!
Posting Komentar untuk "Menyentuh Inti Kemarahan: Mengeksplor Asal-usul Penyebab Permasalahan"